Postingan Populer


Pembekuk Hercules, Edward Syah Pernong, Sultan Skala Brak

 


LAMPUNG, – Namanya kembali menggema di ruang publik pada November 2006, ketika sebuah operasi besar-besaran membekuk salah satu preman paling disegani di Jakarta, Hercules, bersama lebih dari seratus anak buahnya. Operasi itu bukan sekadar penegakan hukum, tetapi juga unjuk nyali. Di balik operasi tersebut berdiri sosok polisi pemberani yakni Brigjen Pol (Purn) Edward Syah Pernong, kala itu menjabat sebagai Kapolres Kota Besar Jakarta Barat.



Nyali adalah kata kunci yang mendefinisikan perjalanan karier Edward. “Polisi itu tidak cukup hanya otot, otak, dan nurani. Tanpa nyali, semua itu tidak ada gunanya,” tegasnya. Baginya, nyali adalah bekal utama dalam menghadapi situasi tak terprediksi, dalam mengambil keputusan seketika, dan dalam mempertahankan naluri penegakan hukum di tengah kabut ketidakpastian.


Namun, keberanian Edward tak hanya berbicara di ranah hukum. Di balik seragam dan baret Polri, ia juga memegang peran sakral sebagai seorang raja. Edward Syah Pernong adalah Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi Sekala Beghak Yang Dipertuan Agung ke-23—pemimpin tertinggi Kepaksian Pernong, sebuah kerajaan adat yang sudah berdiri sejak abad ke-12 Masehi di Batubrak, Lampung Barat.


Lahir di Jakarta pada 27 Januari 1958, Edward dikukuhkan sebagai raja Kepaksian Pernong pada 19 Mei 1989. Di usianya yang masih relatif muda saat itu, ia mengemban dua tanggung jawab besar: sebagai penegak hukum dan pelestari adat. Dalam dirinya berpadu dua dunia—teknokrat dan tradisionalis, perwira dan pemangku budaya.


Ketika berbicara dalam forum adat maupun seminar kebudayaan, Edward selalu menegaskan pentingnya merawat jati diri masyarakat Lampung. Dalam Seminar Budaya Lampung yang digelar Lembaga Peduli Budaya Lampung (LPBL) pada 29 Juni lalu, ia menyampaikan makalah berjudul Upaya Memperkuat Kearifan Budaya Lokal. Dalam paparannya, Edward mengajak masyarakat adat untuk bangkit dan peduli terhadap tradisi leluhur.


“Kalau bukan kita yang memperjuangkan adat istiadat, siapa lagi?” ujarnya lantang di hadapan peserta. Lebih lanjut, ia mengajak meluruskan persepsi publik tentang budaya Lampung. Menurut Edward, Lampung hanya memiliki satu budaya, yaitu Pepadun, meskipun memiliki dua sistem komunitas adat: Pepadun yang demokratis dan Saibatin yang aristokratis.


Pernyataan itu dianggap monumental oleh budayawan Anshori Djausal. “Selama 20 tahun saya menunggu ada tokoh adat yang berani mengatakan ini. Dan baru sekarang pernyataan itu muncul,” ujarnya penuh haru.


Perjalanan karier Edward di Polri tak kalah menginspirasi. Lulus S-1 Hukum dari UGM pada 1983, ia langsung menempuh pendidikan perwira melalui PPSS. Ia sempat bertugas di PTIK dan mengukir prestasi di berbagai medan, salah satunya saat menjabat Kasat Reserse Polres Metro Bekasi.


Tahun 1995, publik geger oleh kasus pembantaian keluarga Acan. Media massa menyorot kasus ini selama berhari-hari. Dalam tempo hanya sebelas hari, Edward berhasil mengungkap pelaku. Prestasi itu membuatnya dipanggil Presiden Soeharto ke Istana Negara. Ia menerima Lencana Adhi Satya Bhakti atas dedikasinya dalam penegakan hukum.


Kepemimpinan Edward juga terlihat saat menjadi Kapolres Bandung, Palembang, Bekasi, hingga akhirnya Jakarta Barat. Di setiap tempat, Edward meninggalkan jejak keberanian, ketegasan, dan kepekaan sosial.


Sebagai pemimpin adat, Edward tak sekadar menjalankan prosesi simbolik. Ia aktif membina para raja, menjaga marwah adat, dan menyelenggarakan prosesi syukuran terbesar dalam sejarah kepemimpinannya: penobatan putra mahkota Alprinse Syah Pernong. Dalam acara itu, ia menyerukan agar para raja adat bekerja sesuai fungsi dan tanggung jawab, demi marwah kerajaan dan kesejahteraan rakyat.


Didampingi sang istri, Nurul Adiati bergelar Ratu Mas Inton Dalom Ratu Paksi Buay Pernong, Edward menegaskan komitmennya pada adat. “Ini bukan hanya tentang melestarikan simbol, tapi memperkuat nilai dan sistem sosial yang telah diwariskan secara turun-temurun.”


Dalam Edward, kita menyaksikan sosok yang melintasi zaman. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini. Antara kearifan lokal dan sistem modern. Antara hukum adat dan hukum negara.


Edward bukan hanya simbol kekuatan. Ia adalah representasi keberanian yang berakar pada nilai. Seorang perwira yang mengedepankan nyali, seorang raja yang menjunjung tinggi martabat.


Dalam dunia yang semakin pragmatis, Edward Syah Pernong mengingatkan kita bahwa kekuasaan sejati adalah yang berpihak pada nilai, berani pada kebenaran, dan setia pada jati diri. (Red)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar